© Surabaya – 230309 – 11:43PM
Hari minggu yang lalu, keluarga besar dari ayah, pergi ke makam kakek nenek dan sanak keluarga yang lain di Gunung Gangsir, Pasuruan. Kegiatan itu merupakan sebuah bentuk usaha menjaga tradisi Tionghoa yang dinamakan Qing Ming (baca: Cèng Bèng), di mana setiap tahun terdapat saat untuk nyekar bersama. Aku ikut serta sejak masih menjadi yang paling kecil, kini sudah digantukan oleh para keponakan yang menyandang gelar tersebut. Ada yang berpendapat ini merupakan tradisi dari satu kepercayaan tertentu dan agak bertentangan dengan ajaran agama lain. Tapi aku melihatnya sebagai tradisi keluarga, tidak lebih.
Pada kenyataannya memang sesampai di makam, sanak keluarga yang memegang kepercayaan Kong Hu Cu, langsung mengeluarkan berbagai macam makanan dan buah, mengeluarkan yoshua, membakar lilin berwarna merah dan diletakkan di tempat semacam meja yang memang dibuat untuk menata semua itu. Secara bergantian mereka berdoa sambil memegang yoshua yang dibakar lalu setelah selesai ditancapkan ke tanah. Tapi keluargaku tidak melakukannya, karena agaknya tak sejalan dengan pola ajaran Kristen Protestan yang kami anut. Tapi kemudian kami bersama-sama menebarkan bunga di atas makam tinggi besar itu. Menata mawar dan kenanga agar terlihat indah dipandang. Tahap selanjutnya adalah membakar beberapa macam kertas. Aku tak paham betul tapi yang aku tahu, aku membantu sepupuku yang membakarnya agar tak sendirian di dekat lidah api yang panas itu. Tanpa motivasi lain.
Setiap orang boleh berpendapat, begitu pula dengan para pembaca dan juga denganku. Ketika aku baru memasuki masa remaja, tanpa pengertian yang cukup, aku jelas menolak semua kegiatan itu karena yang aku tahu itu bertentangan dengan apa yang diajarkan padaku. Menyembah mereka seakan allah padahal aku punya Allahku sendiri. Lagipula secara logika juga mereka sudah meninggal dan tidak perlu harus dikirimkan makanan toh yang memakan nantinya kita juga. Itu sebelum aku berpikiran lebih luas dan menjadi lebih dewasa. Sampai selalu bertengkar dengan tante dan sepupuku ketika Qing Ming tiba. Itu pengertian dangkalku dulu.
Sekarang aku paham bahwa Allah melihat hati. Motivasi apa yang mendorongku melakukan hal-hal tersebut. Aku melihatnya sebagai sebuah tradisi keluarga. Jujur kuakui, Qing Ming menjadi satu acara di mana bisa berkumpul dengan keluarga besar. Saat di mana mau tidak mau, semua “harus” meninggalkan sejenak rutinitas untuk menghormati keluarga yang sudah dipangil terlebih dulu. Alhasil semua bisa berkumpul. Makam Tionghoa tidak tampak menyeramkan, paling tidak di kala langit terang. Kami bisa berkumpul beberapa saat dan bercerita menanyakan keadaan keluarga yang lain di sana, minimal sampai lilin dan yoshua yang dibakar itu habis. Dengan kesibukan dan kehidupan masing-masing, berkumpul dengan keluarga besar seakan baru dapat terlaksana bila ada acara seperti ini.
Keluargaku tetap tidak membakar yoshua dan tidak menyembanyangi kakek nenek, tapi kami juga tak lagi menyebutkan itu sebagai kesalahan yang dilakukan oleh keluarga lain dan sepupuku. Tidak juga memakan makanan yang telah mereka persembahkan di meja penyembahan. Kami menghargai apa yang mereka percayai karena setiap agama punya caranya sendiri dalam menyembah Allah dan aplikasinya dalam kehidupan. Begitu pula dengan mereka, tak memaksa kami harus melakukan karena mereka menghargai apa yang kami pegang. Mereka juga membawakan makanan yang sama yang tidak dipersembahkan agar kami sama-sama bisa makan. Semua bisa saling membantu melakukan detail prosesi nyekar yang dilakukan setahun sekali ini.
Sebenarnya aku sempat takut untuk menuliskan topik ini di post, karena termasuk topik dengan kategori sensitif. Namun, ini adalah tempatku mengeluarkan buah pikiranku dan pendapatku jadi lihatlah dengan sudut pandang itu. Aku belajar bahwa saling menghargai itu penting, tanpa perlu saling menyalahkan apa yang dianut. Dengan menghargai batasan masing-masing dan toleransi, justru konflik itu terhindarkan dari keluarga besarku. Sama saja bohong bila aku tidak mau terlibat dengan apa yang mereka lakukan tapi aku juga tidak bisa memberikan contoh baik dalam keseharian. Sama saja bohong bila merasa paling benar dan menyalahkan yang lain tapi itu justru jadi batu sandungan untuk agamaku. Namun, ketika semua pihak bisa saling bertoleransi dan memandangnya tidak dengan dangkal, kekeluargaan justru bisa makin erat terbangun.
Kini banyak keluarga Tionghoa yang sudah tidak melaksanakan tradisi Qing Ming. Memang, nyekar tidak harus menunggu Qing Ming, oleh karena itu aku menganggap ini sebagai sebuah tradisi. Bukan kegiatan kepercayaan atau agama tertentu. Tidak ada yang salah atau benar, hanya bila tidak lagi dilakukan maka tradisi yang jadi semacam identitas akan luntur dan hilang dimakan jaman. Bukan pula karena itu bagian dari identitas, jadi menampakkan etnis Tionghoa eksklusif. Bukan dengan sudut itu memandangnya! Setiap suku dan etnis pasti memiliki tradisi dan adat istiadat masing-masing yang menjadi bagian dari identitas sebuah suku. Begitu pula yang kumaksud, selama tradisi ini tidak merugikan orang lain, justru bisa menjadi ajang kekeluargaan, tidak apa bukan bila tradisi ini tetap dilakukan? Tak dilakukan pun tak apa, semuanya kan pilihan.. Kalau tak mau melakukan maka juga tidak perlu menyalahkan.
Tradisi Qing Ming sempat menjadi kontroversi di keluargaku dulu. Keberadaannya dikaitkan dengan penyembahan ajaran agama tertentu, tetapi juga merupakan bagian dari tradisi etnis Tionghoa. Namun, tradisi ini juga menyisakan sebuah kesan, tradisi yang sarat dengan mempererat tali kekeluargaan. Semoga tidak ada lagi yang saling menyalahkan tetapi coba untuk toleransi dan menghargai. Bukan hanya butuh dimengerti tetapi mau berusaha mengerti..
They said: